Selasa, 31 Agustus 2010

MEMBERDAYAKAN POTENSI DIRI

Manusia adalah makhluk tiga dimensi dengan tiga kemampuan. Pertama kesadaran akan dirinya sendiri dan dunia. Kedua, kemampuan untuk memilih. Ketiga, kemampuan untuk berkarya. (Ali Syari’ati 1933-1977)

Manusia modern tentunya mempunyai banyak keinginan. Kita tau bahwa hidup memang memerlukan, life skill. Dan life skill, tidak mungkin datang dengan sendirinya. Tapi, memerlukan usaha yang maksimal, perlu digali potensi diri, dan dikembangkan dengan cara banyak belajar, kuncinya adalah jangan pernah merasa cukup dengan hasil yang ada teruslah berusaha. Berbuatlah sebanyak mungkin, lakukan yang bisa dilakukan, carilah sesuatu hal yang baru, yang bisa membawa banyak manfaat. Tanpa kemampuan yang dimiliki oleh diri, tentunya kita akan tertinggal, dan jalan ditempat yang akhirnya menyesali diri sendiri. Salah besar kalau kita sampai memvonis diri gagal dan bodoh. Kita tidak mengharapkan seperti itu menimpa kita, yang kita harapkan hidup ini dinamis penuh warna, dan banyak perubahan pada diri.

Manusia yang kreatif, tentu akan selalu mencoba hal-hal yang baru ,beinovasi. Menyukai tantangan, tidak ada khahawatiran pada diri. Melakukan tentu lebih baik daripada menonton dan mengomentari. Socrates berkata, ”Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirlah dulu, baru berkata. Dengarlah dulu, baru beri penilaian. Bekerjalah dulu, baru berharap”. Indah sekali kata bijak ini, tidak menutup kemungkinan orang bisa terinspirasi dan berbuat lebih semangat lagi.

Walau sesulit dan sepahit apapun harus tetap punya harapan dan selalu berpikiran positif. Jangan mengalah dan menyerah, lawan dan berusaha untuk menang, Kita perlu ”memotivasi diri sendiri ” agar berdaya dan tegar dalam menghadapi hari esok. Kalau perlu bikin dan tulis suatu catatan diri yang menekankan ketangguhan mental, semisal: “Saya harus bisa, melakukan itu yang menjadi taget dan prioritas, tidak ada yang tidak bisa jika Tuhan menghendaki, Pasti saya bisa”. Baca berulangkali kalimat demi kalimat, pahami dan hayati maknanya, katakan pada diri bahwa kita mampu, untuk melakukannya.Itulah optimisme. Dengan begitu kita akan merasakan bahwah alam sadar kita merespons dalam tindakan yang nyata.

Berfikiran kreatif hanya berkembang pada masyarakat yang terbuka, toleran terhadap ide-ide “gila” dan memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan kemampuan dirinya.
Orang yang kreatif dan dinamis biasanya mereka selalu berpikiran bagaimana dirinya maju terdepan, visioner dan bermanfaat buat orang banyak. Sungguh mulia orang yang selalu berpikiran kedepan untuk kemaslahatan atau kebaikan umat manusia, selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Tentunya ini perlu diapresiasi. Dan setiap agama apapun memandangnya sebagai tindakan yang terpuji, berakhlak dan karakter manusia yang santun dan bersahabat.

Dalam buku Psikologi Komunikasi (Jalaluddin Rahmat 2009: 77) disebutkan, secara umum menurut Colemen dan Hammen orang-orang kreatif ditandai:
1. Kemampuan kognitif. Termasuk disini kemampuan diatas rata-rata, kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru, gagasan yang berlainan, dan pleksibelitas kognitif.
2. Sikap terbuka. Orang kreatif mempersiapkan dirinya menerima stimulasi internal dan eksternal, ia memiliki minat yang beragam, dan luas.
3. Sikap bebas, otonom, dan percaya pada diri sendiri. Orang kreatif tidak senang “digiring” , ia ingin menampilkan dirinya semampu dan semaunya, ia tidak terikat dengan konvesi-konvensi sosial, mungkin inilah sebabnya orang-orang kreatif sering dianggap “nyentrik” atau gila. (Catatan, asgaris 2010: 21)

Jika kita berpikir, bahwa didunia ini tidak ada yang mustahil. Semuanya serba mungkin Rumus berpikirnya: “Tuhan ada dan Dia berkehendak”. Jadi, siapa manusianya yang bisa mencegahnya jika Tuhan menghendaki, pasti semua terjadi. Nah, sekarang kembali kita berpikir tentang manusia, jika manusia punya kemauan, dan berpikran positif terhadap Tuhan, menyayangi sesama manusia tanpa membedakan ras, golongan dan agama, selalu berusaha dengan sekuat tenaga, berdo’a dan ikhlas dalam beramal, apakah Tuhan tega untuk menzaliminya? Tuhan sangat Penyayang, dan mencintai umat manusia, saya kira kalau manusia berkeinginan untuk merubah dirinya menjadi manusia yang berguna, dengan cara mengembangkan potensi diri yang dimiliki, saya yakin bahawa: Tuhan akan menolong hambanya, selagi hambanya mau menolong dan berbuat kebaikan untuk diri dan juga umat manusia. Percaya dengan hal ini, berarti kita positif dalam memandang kehidupan, dan dipandang sebagai manusia yang pandai bersyukur.
Selanjutnya - MEMBERDAYAKAN POTENSI DIRI

Minggu, 29 Agustus 2010

BUKTIKAN MIMPI BESARMU

Saya mencintai kalimat: “i like dream big” (saya suka bermimpi besar) kenapa? Karena apa yang saya katakan dan fikirkan itu, akan saya usahakan dan semaksimal mungkin untuk mewujudkannya.
“Nilai dari seseorng itu ditentukan dari keberaniannya memikul tanggungjawab, mencintai hidup dan pekerjaannya”.(Khali Gibran)
Masalah terpenting yang harus dipersiapkan oleh manusia untuk maju kedepan, mencapai prestasi adalah, itikad dan kemauan yang keras. Kita butuh persiapan yang matang untuk menggapai cita-cita, mulai dengan mempersiapkan diri, secara mental, dan menambah pengetahuan dengan banyak belajar. Orang yang berfikiran maju selalu berorientasi kepada pembinaan mental yang memadai, serta tangguh, karena masalah kehidupan ini sangat kompleks. “Musuh yang paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan bimbang. Teman yang paling setia, hanyalah keberanian dan keyakinan yang teguh”. ( Andrew Jackson)

Jadi, segala sesuatunya harus benar-benar di persiapkan: Kalau ingin maju siapkan diri dengan bekal ilmu, gali pengetahuan sebanyak mungkin,siapkan pisik dan psikis, mental-spiritual, optimislah dalam menjalani hidup, pantang menyerah dalam berusaha. Memang ini tidak gampang, semuanya butuh pengorbanan, dan keyakinan diri yang kuat.

Kegagalan orang dalam memperjuangkan cita-citanya berakar dari sifat pesimisme, putus asa. Hal ini memang tidak sehat, bahkan bisa jadi racun bagi diri yang mematikan perjuangan. Betapa banyak orang yang berhenti di tengah jalan, gara-gara terjurumus kedalam kemaksiatan, tidak mengindahkan norma agama dan norma sosial. Betapa banyak orang yang menagis meratapi nasibnya dengan sebab, dirinya tidak siap bersaing dengan orang yang berprestasi. Apa pun itu bentuknya, kita perlu mengkaji lagi “nilai diri” yang telah kita capai. Membuang-buang waktu saja, kalau hidup hanya dipake meratapi diri dengan kesedihan mendalam. Belum terlambat, dan kita masih banyak kesempatan untuk mengejar mimpi, ingat Tuhan sangat kasih terhadap manusia. Apa yang akan Tuhan berikan pasti yang terbaik. Kalau kita meyakini akan hal itu, Tuhan akan memudahkan segala urusan kita. Kita harus banyak belajar dari pengalaman, supaya tidak terrjadi lagi hal yg tidak menyenangkan menimpa diri, dengan banyak belajar tentu kita akan lebih berhati-hati dalam melangkah. “Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan, dan semua hasrat-keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan, dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran,dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta”. (Khali Gibran)


Betapa pentingnya ilmu pengetahuan, jika manusia tidak berilmu pastilah akan menjadi binatang yang tanpa arah, tidak tau apa yang akan dilakukan.
“Cara untuk menjadi di depan adalah memulai sekarang. Jika memulai sekarang, tahun depan Anda akan tahu banyak hal yang sekarang tidak diketahui, dan Anda tak akan mengetahui masa depan jika Anda menunggu-nunggu”.( William Feather )

Mulailah untuk melangkah dan melakukan sesuatu yang positif, jangan hanya menunggu dan jadi penonton, kembangkan potensi yang kita miliki, jangan pernah mengalah, karena rintangan selalu menghadang, tapi berusahalah selalu untuk mengejar apa yang akan kita capai, Tuhan pasti akan menolong apa yang kita inginkan, dengan syarat apa yang kita lakukan ikhlas .
Selanjutnya - BUKTIKAN MIMPI BESARMU

Minggu, 07 Maret 2010

OPTIMIS PANTANG MENYERAH DALAM BERUSAHA

Kehidupan banyak memberikan pilihan kepada manusia,kesuksesan suatu pilihan bagi manusia,dengan meraih sukses manusia bisa merasakan kebahagian yang tiada tara.Banyak sebagian manusia yang melakukan sesuatu yang tidak berhasil, dan akhirnya menyerah terhadap keadaan dirinya memvonis gagal. Jangan sampai sesuatu yang kita lakukan berhenti di tengah jalan.Segala sesuatu perlu di persiapkan baik secara ilmu maupun secara pengalaman,mempersiapkan diri dengan bekal yang mumpuni akan semakin mendekatkan kepada tujuan yang kita ingin raih.

Jangan menyerah terhadap keadaan,tapi berusahalah untuk menguasai keadaan dengan berbagai cara. Orang yang memandang sesuatu dengan pesimis akan berdampak pada sikap apatis alias jumud.Itu merupakan,sikap yang tidak sehat bagi pembentukan karakter,lain halnya dengan pribadi yang optimis yang memandang segala sesuatu sebagai peluang untuk sukses.Nah,inilah yang kita harapkan sikap fositif dalam diri untuk selalu berusaha dengan lebih baik.

Apa yang kita lakukan dengan baik dan maksimal itu akan kita rasakan manfaatnya juga,suatu usaha yang di lakukan oleh seseorang itu merupakan cerminan keberhasilannya.Kalau sungguh-sungguh dalam hidup dan penuh dengan rasa percaya diri terhadap kemampuan dan tidak pernah mengeluh terhadap masalah yang ada, ini akan menjadi motivasi bagi dirinya untuk selalu mendapatkan yang terbaik.Orang yang berleha-leha dan banyak putus asa dalam berusaha,tidak akan pernah meraih prestasi melainkan kekecewaan dalam hidup.Orang males akan selalu jalan di tempat,tidak akan pernah maju,hidupnya hanya di habiskan untu berbuat yang tidak ada gunanya.

Dalam melihat realitas,orang-orang yang sukses itu adalah pekerja keras punya etos kerja yang baik,komitmen jelas,tak ada dalam dirinya keluh kesah,optimis dan berusaha tidak lupa berdo’a dan ikhtiar.Inilah suatu kemajuan bagi diri dalam mengembangkan potensi yang Allah telah berikan,jangan pernah berputus asa dalam berusaha untuk maju dan sukses.Tuhan berfirman: “Janganlah kalian putus asa dari rahmat Allah,tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat”.

Putus asa adalah sifat pesimis dalam memandang sesuatu dari segi yang negative thingking,tanpa ada gerak dalam dirinya untuk berusaha.Inilah sifat orang-orang yang sesat,yang tidak mempunyai trik dalam menghadapi masalah yang menimpa dirinya.Kebodohan terbesar ketika kesesatan diri di biarkan begitu saja,tanpa berusaha untuk merubahnya.Tidak ada pilihan lagi kecuali berusaha dengan optimis pantang menyerah dalam berusaha,mempersiapkan diri dengan bekal ilmu dan keilmuan untuk meraih sukses.”Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang profesional dalam bekerja” (inallaha yuhibul muhtarif).
Selanjutnya - OPTIMIS PANTANG MENYERAH DALAM BERUSAHA

Jumat, 05 Maret 2010

MEMBACA SUATU KEBUTUHAN

Manusia adalah makhluk yang selalu membutuhkan sesuatu yang baru baginya untuk mengisi jiwanya,supaya lebih pandai dan bijak,manusia perlu membaca dan belajar secara kontinuitas,dalam konsepsi agama: ”Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan,menciptakan manusia dari segumpal darah,bacalah dengan nama Tuhanmu yang mulia,yang mengajarkanmu dengan pelantaraan kalam,nmengajarkan manusia apa yang tidak di ketahuinya” (Qs.al-Alaq: 1-5)

Membaca adalah sumber ilmu pengetahuan,siapa yang menjadikan bacaan sebagai kebutuhan maka dia akan mendapatkan ilmu yang berkembang. Kata “Iqra” (bacalah !) adalah suatu perintah,supaya membaca dengan hati,penuh penghayatan makna. Rasulullah ketika di suruh membaca oleh Malaikat Jibril,mengatakan: ”ma ana biqari”( saya tidak bisa membaca) samapai di ulang-ulang tiga kali.Hikmah yang terkandung bagi umatnya adalah,membaca bukan hanya dalam konteks yang kongkret saja.Tapi juga harus pandai membaca yang abstak. Dengan inilah,budaya baca sangat di anjurkan dalam agama,supaya daya nalar berkembang, dan analisa lebih tajam.Kemalasan orang dalam membaca,merupakan penghambat kekritisan diri,karena suatu bacaan menawarkan banyak informasi,yang merupakan kebutuhan manusia.

Ketika saya,membaca buku “Reading at University a guide for students”. karya Gavin Fairbairn dan Susan A.Fairbairn,saya sangat tertarik dengan perumpamaan tentang jenis pembaca,dengan ciri masing-masing sebagai berikut:

1.Pembaca sebagai pesulap, yang sekaligus menyimpan banyak gagasan di udara.

2.Pembaca sebagai koki, yang mengasinkan pendapat-pendapatnya sendiri secara perlahan-lahan dengan berbagai bumbu bacaan dari sana sini.

3.Pembaca sebagai penjelajah, yang menyelam dalam-dalam ke wilayah intelektual yang tak di kenal dan kadang-kadang berisiko.

4.Pembaca sebagai tukang kebun, yang secara hati-hati merencanakan dan menyiapkan lahan dengan memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang ingin di ajukan mengenai teks yang di bacanya,memelihara gagasan-gagasan yang kuat yang di temuinya ketika sedang memupuk bagian-bagian yang lemah.

5.Pembaca sebagai detektif, yang melacak argument-argumen dan alur pemikiran,baik yang terdapat di dalam maupun di antara teks-teksnya.

6.Pembaca sebagai kekasih, yang dengan murah hati dan penuh kasih mengurut hal-hal yang di temukannya untuk di pergunakannya dalam penulisan tugasnya.

6.Pembaca sebagai pembuat peta, yang terlibat dalam pembuatan sketsa bentuk bukunya,penentuan titik-titik tinggi dan rendahnya,dan ciri-cirinya yang menarik, supaya ia sendiri gampang menemukannya lagi ketika ia membutuhkannya di kemudaian hari.

Apapun masalah gaya tipikal membaca Anda itu perlu di kembangkan,dengan sendirinya ketika kita menjadikan bahan bacaan sebagai kebutuhan,layaknya kita membutuhkan makan dan minum untuk tuhuh,tapi sebenarnya kalau membaca lebih dari itu. Dalam kitab tariqush-shahih ilathalabul ilm wa barnamaj ta’limudzati.Karya Syeikh Amin al-Haj. Imam Ahmad bin Hanbal rahimallah mengatakan: “Kebutuhan manusia akan ilmu (bacaan) lebih banyak kebutuhannya dari pada makan dan minum.Karena sesungguhnya makan dan minum membutuhkan kepadanya dalam sehari satu atau dua kali. Adapun ilmu (bacaan) membutuhkan kepadaanya hanya bilangan detik atau napas”.

Kebutuhan itulah yang memotivasi seseorang utuk rajin membaca dan berdiskusi,dengan membaca segala masalah bisa di sikapi dengan bijak.Membaca adalah jendela dunia,mengandung arti bahwa sumber-suber informasi dunia,kunci-kuncinya hanya dengan terus belajar (long live education),banyak membaca dan bertanya kepada ahlinya. Belajar Jangan hanya mengandalakan di bangku sekolah atau kuliah,tapi carilah dimanapun kita berada,sumber ilmu ada dimana,kalau membaca tidak dapat di bangku kuliah (formal), kita bisa belajar kepada alam atau lingkungan (non Formal) hanya saja di sini di tuntut ketekunan dan konstan dalam membaca.Tentunya,bacaan yang kita baca jagan asal masuk,tapi perlu di saring (filter), dan di analisa,itulah makna membaca substansi,melihat dan menghayati kandungan maknanya dan mengkritisinya.
Selanjutnya - MEMBACA SUATU KEBUTUHAN

Rabu, 17 Februari 2010

TEOLOGI: SUATU TAFSIR KEBENARAN


FILSAFAT  TAFSIR KEBENARAN
Dalam kebenaran tersimpan kebijaksanaan,dan keadilan.Dalam istilah teologi kebenaran adalah mutlak hanya milik Tuhan.Di dalam konsepsi al-Qur’an di sebutkan: “Kebenaran berasal dari Tuhan,maka janganlah kalian ragu akan kebenaran itu”.Benar dalam penafsiran manusia masih bersifat relatif.
Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.


Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?

Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapura dan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.

Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?

Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).

Apa kaitannya dengan individualisme?

Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku) -nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.

Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya muncul kan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.

Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?

Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.

Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?

Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak.


Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?
Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad saw. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.

Nah, ada juga problem Mas. Masyarakat kan sering memisahkan akal dengan hati. Artinya, mungkin bisa dijelaskan perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan intelek (qalbu)?

Kalau reason, kan berada di wilayah ilmu hushuli, konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau intelek itu ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah. Antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah. Dia menyatu. Seperti, saya sadar dengan diri saya sendiri. Aku tahu aku. Aku subjek, aku juga objek kan. Demikian juga, aku lapar. Lapar itu satu objek pengetahuan, kita tahu. Subjek ilmu, saya kan. Tapi lapar bukan berada diluar saya, tetapi didalam diri saya sendiri. Bukan identitas saya juga, tetapi sebagian dari aspek saya.

Kalau Maulana Rumi menceritakan perbedaan itu. Diceritakan ada kompetisi melukis, menggambar taman bunga. Satu group minta kanvas, kuas, dan cat yang paling bagus. Sementara group lain hanya minta cermin. Setelah jadi dilihat, oh ini lukisannya bagus, lukisan di kanvas, persis seperti taman, tapi cuma satu dimensi saja. Sementara cermin kan refleksi, oh ini persis sekali. Nah, kalau filsuf itu melukis realitas, dengan konsep, ide dan pemahamannya. Kalau seorang ‘arif, realitas dimasukkan dalam hatinya, cermin itu qalbu-nya. Realitasnya ada didalam cermin, jadi tidak terpisah dari dia. Makanya dalam hadist, “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Nah dimana kita menempatkan Tuhan yang tidak terbatas? Dengan merefleksikan Dia tentunya.

Cermin itu didalam manusia?
Dalam manusia terdapat bayangan diri.baik dan jeleknya perilaku manusia akan tercerim dari cara dia berkata dan berfikir.kalau manusia itu baik,akan terpancar aura positif pada diri dan juga lingkungannya.Manusia adalah cermin bagi saudaranya.berilah saudara kita teladan yang baik,itu akan menjadi kebahagian yang tiada tara.

Qalbu itu cermin. Allah ada disitu. Qalbu kan divine, bukan human. Gimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, kecuali kalau qalbu itu sendiri adalah Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, maksudnya ya Tuhan yang mengenal diri-Nya sendiri. Nggak mungkin manusia kenal Tuhan. Jadi Tuhan itu mengenal diri-Nya sendiri.

Intelek seperti itu. Kalau ilmu hushuli kan konsep, melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri, kita masukkan realitas dalam hati. Kalau kita melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Nabi melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Jadi Nabi setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah, itu bahasa teologisnya. Tetapi sebenarnya, Aku adalah Dia. Jadi bukan politik humanis lagi, tapi politik divine. Disini filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, mau menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia. Ketika Tuhan hadir, kan alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Salah satu nama Tuhanpun al-Mu’min, Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Dia hadir, Dia akan memberi keamanan pada semunya. Khan ada hadist, al-mu’min miratul mu’min (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan).

Di Paramadina saya pernah ditanya, “Tuhan dengan manusia kan beda?” Saya jelaskan, dalam al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, innama ana basyarun mistlukum (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Saya bertanya pada Bapak itu, “Pak, disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia, seperti kalian, mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya bukan persis manusia. Lalu kalau begitu, Muhammad itu apa?”

Maksudnya?
Tuhan mau menyelamatkan manusia di bumi ini. Tetapi kalau Tuhan menurunkan manusia, sama kan, kualitas, kharakter. Jadi nggak bakal selamat. Maka yang harus membimbing manusia itu harus Aku, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia, khalifah: cermin Aku sendiri. Jadi Tuhan, mau membimbing manusia tanpa meninggalkan langit, caranya bagaimana? Bahasa simbolisnya kan. Kalau Tuhan turun, langit kosong dong. Khan di al-Qur’an, fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (di langit Tuhan, di bumi Tuhan). Satu cara untuk Tuhan turun ke bumi, tanpa meninggalkan langit itu, taruh cermin dibawah, namanya khalifatullah. Dia sendiri yang datang. Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk.

Cara atau metodologi dalam kedua ilmu yang berbeda itu seperti apa Mas? Al-Ghazali berkata, bahwa pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga eksperimental ruhaniyah. Apakah seperti itu?

Mereka yang belum menyadari kehadiran intelek, paling tidak memiliki panca indera, dan rasio. Indera kita gunakan untuk melihat, afalaa tadabbarun, kamu lihat langit dan bumi, dan kamu kontemplasi. Rasio untuk berpikir. Sementara proses pemikiran kan berada dibawah bimbingan wahyu, dari Dia juga. Jadi tidak terputus dari Tuhan. Nah kita gunakan semua ini, untuk diarahkan pada kesadaran intelektus tadi. Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.

Pertama, kita harus menempatkan diri kita dalam ruang agama. Tidak mungkin diluar agama. Sekarang di Barat ada yang nggak pakai agama, spiritual universal. Kata mereka, kalau sudah terikat oleh agama, maka tidak universal lagi. Padahal kalau kita terikat pada satu agama, kita makin universal. Karena tidak mungkin ada universal tanpa partikular. Contoh. Orang bilang kalau sudah ada batin, nggak butuh dhahir lagi. Bisa nggak saya bilang, saya kenal atas, tapi bawah saya nggak tahu? Nggak bisa kan. Kenal atas karena kenal bawah. Dhahir itu ada, karena ada batin kan, demikian sebaliknya. Nah, dalam agama ada jalan esoteris, jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan itu. Itu syarat yang berada diluar diri manusia.

Kedua, cara yang ada dalam diri manusia. Yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Kata Syeh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Misal, dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang dikit saja, itu sudah cukup. Kalau nggak ada lubang, semua tertutup, kita nggak bisa melampaui ruang yang gelap.

Kata hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”.

Ya. Ketika ada aspirasi baru ada respon, Jadi adzkuruunii adzkurukum, jika kau mengingat Aku, maka Aku pun mengingatmu. Setelah himmah, maka harus ada iman. Iman kepada agama. Agama terbentuk dari wahyu, dan wahyu sebenarnya manifestasi dari Dia, jadi iman kepada Dia sebenarnya. Ini yang subjektif, himmah dan iman. Sementara yang objektif tadi, agama dan jalan dalam agama. Seorang sufi berkata, “Dari Tuhan kepada manusia ada jalannya. Tapi dari manusia ke Tuhan, nggak ada jalannya”. Jadi kalau ada orang tenggelam, yang melempar tali itu siapa? Orang yang dikapal atau yang tenggelam? Jadi jalan dari kapal ke laut ada, tapi kalau sebaliknya tidak ada. Oleh karena itu syariat dari Tuhan, bukan manusia yang membuat syariat. Jalan thariqah pun harus dari Tuhan. Karena kita kan berada di luar, mau kedalam. Apa kita buat jalan sendiri? Nggak mungkin. Itu yang saya maksudkan, agama harus ada “jalan kedalam”, dari batin agama itu sendiri.









Selanjutnya - TEOLOGI: SUATU TAFSIR KEBENARAN